Minggu, 18 November 2012

Feature Detection


Para peneliti yang pertama kali mempelajari tentang human pattern recognition dalam cara yang sistematis yang disebut Psikologi Gestalt dikarenakan keyakinan mereka bahwa keseluruhan persepsi dari suatu objek (atau gestalt) adalah lebih besar daripada jumlah dari bagian-bagian individual. Teori integrasi fitur mencakup dua tahap pengolahan : preattentive processing dan focused processing. Sebuah fitur tunggal, bagaimanapun, dapat diterima tanpa fokus tersebut. Teori Feature Detection menyatakan bahwa kita mempunyai sel-sel di dalam korteks penglihatan kita yang bergejolak hanya pada respon-respon stimulus tertentu.
Pandemonium merupakan salah satu sistem dalam rekognisi pola (pattern recognition) yang menggunakan analisis tampang (feature analysis). Sistem ini merupakan salah satu cara untuk menggambarkan bagaimana terjadinya proses rekognisi (pengenalan kembali) atas pola-pola yang diindera oleh manusia. Sistem ini mengimajinasikan adanya serangkaian Demmon (demon) yang berperan menganalisis pola-pola yang diindera. Masing-masing demon memiliki tugas yang berbeda-beda yaitu :

JENIS-JENIS DEMON & TUGASNYA
  • Image Demon (ID)
Jenis Demmon yang pertama, memiliki tugas yang paling sederhana, yaitu mencatat gambaran atau citra (image) sinyal eksternal.
  • Feature Demon (FD)
Jenis Demmon yang kedua, bertugas menganalisa. Masing-masing demon melihat ciri-ciri khusus pada pola, yaitu adanya garis-garis tertentu (misalnya: sudut, garis vertikal, garis horizontal, kurva).
  • Cognitive Demon (CD)
Jenis Demmon ketiga, yang bertugas mengamati respon-respon dari feature demon (FD), bertanggung jawab mengenali pola. Setiap cognitive demon digunakan untuk mengenali satu pola(misalnya : satu CD mengenali A; satu CD mengenali B; dll). Bila suatu CD menemukan tampang (feature) yang cocok, maka demon tersebut berteriak. Bila demon lain menemukan kecocokan tampang (feature) yang lain, maka teriakan-teriakan menjadi lebih keras.
  • Decision Demon (DD)
Jenis Demmon yang keempat, yaitu bertugas mendengarkan hasil pandemonium dari cognitive demon (CD), lalu decision demon (DD) memilih teriakan CD yang berteriak paling keras sebagai pola yang paling besar kemungkinan terjadinya.

Eksperimen Miller (1962)
Ini merupakan salah satu eksperimen yang menunjukkan efek konteks terhadap hasil rekognisi sinyal. Dalam eksperimen ini, subjek diminta untuk mendengarkan serangkaian kata-kata: socks, some, brought, wet & who. Tiap-tiap kata diucapkan dalam macam-macam bunyi sedemikian rupa sehingga hasilnya tiap-tiap kata hanya dapat diidentifikasi sekitar 50% dalam waktu yang disediakan.
Pada kesempatan lainya, kata-kata tersebut disusun dalam urutan yang memberikan makna : who, brought, some wet, socks. Dan subjek diminta mengenali sekali lagi. Ketika katakata tersebut diucapkan dalam urutan tata bahasa, kinerja kognisi subjek meningkat secara dramatis. Dengan demikian petunjuk kontekstual dapat meningkatkan rekognisi secara meyakinkan.

PENTINGNYA KEMIRIPAN ANTARA PANDEMONIUM DENGAN SKEMA TEMPLATE
Kemampuan untuk menggunakan konteks membuat sistem persepsi manusia lebih tinggi kemampuannya atau superior dan lebih fleksibel dari pada sistem kognisi pola eletronik yang ada sejauh ini. Kita tidak mengetahui secara pasti bagaimana penggunaan informasi dari konteks. Namun demikian kita tahu bahwa konteks memainkan peran yang sangat besar dalam persepsi kita.
Peran Konteks :
v  Memberikan aturan-aturan sepanjang penyusunan persepsi kita
v  Membantu memprediksi
v  Memberikan interpretasi yang rasional terhadap hal-hal yang kita persepsi
Khususnya dalam rekognisi ataupun persepsi terhadap sinyal yang berupa bahasa, jika bahasa dibuat efisien atau jika seseorang kurang dapat menggunakan informasi kontekstual untuk memandu persepsinya, akhirnya komunikasi dapat menjadi proses yang menyakitkan dan berbahaya. Urutan operasi pandemonium yang sudah digambarkan diatas merupakan pemrosesan informasi yang memiliki ciri-ciri data-driven yaitu pemrosesan informasi yang diawali dari datangnya data penginderaan. Di dalam menganalisa informasi, harapan dan pembentukan konsep individu terhadap informasi yang diterimanya memainkan peran yang penting. Informasi yang berasal dari memori dikombinasikan dengan informasi yang berasal dari penginderaan. Pemrosesan informasi yang diawali dengan pembentukan konsep atau harapan individu disebut conceptually-driven.

Keywords: Teori Feature detection menyatakan bahwa kita mempunyai sel-sel di dalam korteks penglihatan kita yang bergejolak hanya pada respon-respon stimulus tertentu. Feature detection ini bergejolak ketika mereka menerima input ketika kita melihat suatu bentuk tertentu, warna, sudut, atau bentuk visual lainnya (Pastorino & Portillo, 2010). Hal yang paling dikenal dalam teori feature detection adalah pandemonium (Lindsey & Norman, 1972; Selfridge, 1959, dalam Friendenberg & Silverman, 2012). Ini diambil dari nama mental kecil “demons” yang mewakili pemrosesan suatu unit. “Demons” ini akan “berteriak” ketika merekognisi prosesnya, misalnya sebagai contoh huruf P.
1.    Stimulus, Hurus P, diwakili sebagai “image demon” yang mempertahankan keseluruhan dari huruf tersebut yang menyeluruh.
2.    Selanjutnya, “feature demons”. Ada satu “feature demon” untuk setiap kemungkinan ciri stimulus. “Features demons” berteriak jika melihat cirinya di suatu gambaran. Huruf P mempunyai satu garis tegak lurus dan satu lingkaran diatas, jadi huruf P mempunyai 2 “features demons”.
3.    Pada tahap selanjutnya ada“cognitive demons”. Satu dari setiap kemungkinan huruf. Jika demon-demon mengetahui ada yang sesuai dengan ciri dari huruf P, maka demon-demon akan berteriak dan cognitive demons akan berteriak paling keras.
4.    Dan yang terakhir ada “decision demons”. Decision demons akan mendengarkan cognitive demons, yang mana satu teriakan paling keras dipilih oleh cognitive demons sebagai huruf yang dikenali.
Untuk menggunakan pusat perhatian pusat perhatian mereka dalam mencari huruf-huruf abjad, Anda akan melihat dalam percobaan ini apa yang perlu mereka lakukan. Mencari satu fitur dapat dilakukan tanpa kita menggunakan perhatian penuh, secara otomatis, hampir mudah sekali.tapi jika dengan fitur-fitur yang di tempatkan secara acak, itu akan makin mempersulit pandangan untuk mencari fiture. Mencari sintesis dari dua fitur jauh lebih sulit. Hal ini juga memakan waktu lebih lama dalam mencari kombinasi dari dua fitur jika jumlah informasi yang ada di layar meningkat dan ada area yang lebih besar untuk pencarian.

Daftar Pustaka
Friedenberg, Jay., & Silverman, Gordon. (2012). Cognitive Science an introduction to the study of mind. London : Sage Publications, Inc.
Reynold, A. G. & Flagg, P. W. (1983). Cognitive Psychology second edition. Boston Toronto : Little, Brown and company.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar